Butuh Sinergi PLN dan BP Tangguh Wujudkan Program Papua Terang
Tim Kunspek Komisi VII DPR saat meninjau Tangguh LNG di Teluk Bintuni Papua Barat. Foto: Odjie/od
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Herman Khaeron mengungkapkan pemanfaatan kelebihan tenaga listrik (excess power) LNG Tangguh Teluk Bintuni untuk pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat Papua Barat demi mewujudkan Program Papua Terang masih menyisakan persoalan. Ia menjelaskan, ada 7 kampung yang penduduknya tidak mau menjadi pelanggan PLN karena komunitas di sana menganggap pasokan listrik tersebut merupakan bagian dari corporate social responsibility (CSR) BP Tangguh yang berlangsung sejak tahun 2014.
“Pada sisi lain PLN yang menyalurkan listrik ke masyarakat Papua Barat harus membayar pada BP Tangguh. Kalau tidak segera selesai ini menjadi persoalan, tentu PLN di sana akan terus menggantung dan rugi (losses), sementara BP Tangguh merasa sudah mengerjakan tugasnya dengan menerangi kawasan Teluk Bintuni dan sekitarnya. Hal lain juga terkait keberlangsungan Train 1 dan Train 2 agar tetap berjalan dengan baik,” papar politisi demokrat ini.
Legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Barat VIII ini menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan kelistrikan yang berasal dari pemanfaatan Excess Power LNG Tangguh sebesar 8 Megawatt untuk masyarakat Teluk Bintuni sudah dimulai dari akhir tahun 2013. Sebagai upaya mewujudkan Program Papua Terang, listrik yang dialirkan BP Tangguh ke PLN ini menurutnya harus segera dicarikan solusinya bersama-sama.
“Jangan sampai melepas Excces Power ke masyarakat kemudian PLN membayar ke BP Tangguh tapi persoalannya tidak diselesaikan. PLN, BP Tangguh dan Pemda harus duduk bersama bersinergi demi tercapainya Program Papua Terang,” harap Herman.
Sementara terkait dengan pembangunan PLN di sekitar Tanah Merah Bintuni Babo, Perwakilan PLN Wilayah Papua dan Papua Barat yang ikut mendampingi Kunspek Komisi VII DPR menyatakan hal tersebut belum fix karena terkait dengan sumber energi primernya.
Sedangkan kebijakan alokasi LNG dari kilang LNG Tangguh sebesar 20 MMSCFD (setara 2 cargo LNG) untuk kelistrikan di wilayah Papua (mencakup Bintuni, Fakfak, Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari dan Sorong ) demi percepatan pembangunan di Papua Barat hingga kini masih diupayakan agar sepenuhnya segera direalisasikan.
“Apakah jatah 20 MMSCFD itu akan dikelola oleh PLN perlu duduk bersama pihak BP Tangguh, SKK Migas bersama dengan Pemerintah Daerah, termasuk bagaimana sitem pembagian profit (keuntungan) apakah akan diserahkan ke Provinsi Papua Barat ditentukan kembali oleh Pemdanya,” tutup Herman. (oji/sc)